Selasa, 12 Juni 2012

cerpen #1


Ceritanya kemaren pas kuliah Stilistika, tugasnya bikin cerpen. Namanya mahasiswa sastra ya, pasti tugasnya begonoan. Gak jauh-jauh dari bikin cerpen, analisis puisi sampai novel. Kebetulah kemaren dosennya nyuruh bikin cerpen berdasarkan pengalaman pribadi. Nah, masalahnya, yang bisa bikin semangat itu cuma MOOD. Berhubung MOODnya masih seliweran cari pacar di alun-alun dan dia baru pulang maleeemmm banget. Ya wes, lemburanlah kita berdua nyelesein tugas itu.
Sebenernya, kerjaan nulis-menulis itu udah biasa banget aku lakuin. Tapiii, berhubung si MOOD itu suka temenan sama BAD, SAD sampee kabur dari rumah, jadinya gak pernah nulis lagi. Terakhir bikin pas hot-hot-nya grup facebook Kumpulan Cerpen Cerbung ArmADA. Grup ini isinya cerpen, puisi, cerbung(istilahku sih CERBUT, cerita berbuntut. hhi) yang ditulis sama armADA, fansnya ADA Band *ecieehh*. Waktu itu pas keluarnya album baru ADA Band, EMPATI *ntar deh aku review album ini*, jadi semangat banget bikin cerpen based from lagu-lagu barunya ADA Band. Abis gak ngeksis, ya saodah, nganggur lagi. Males itu merepotkan, pemirsa! J
Balik tentang cerpen ini. sebenernya cerpen ini 30% fiktif. Tapi tema ceritanya itu 100% REAL! Hahahaha, ini jadinya semacam curhatan. Tapiii, jadinya bener-bener kayak fiktif. Aku emang ngerasain feelnya, suasana di dalem ceritanya. Tapi ya itu, kayak ‘gak kenal’. Hhi, kata orang jawa sih, jiarjarno alias biarin. Yang penting tugas ngerjain sendiri. #ayey!
Udeh ah, ceritanya kepanjangan. Yo wes, cekidot pemirsa!


PRIA LEBARAN

Lebaran adalah pilihan. Kita akan berbangga hati karena sudah berhasil melalui bulan Ramadhan yang penuh perjuangan, atau kita akan bersedih hati karena belum tentu akan bertemu lagi dengan bulan itu di tahun depan. Buatku lebaran tak lebih dari seorang pria beralis tebal. Pria yang mampu membuatku tahu bahwa cinta tak harus memiliki. Pria yang mengajarkanku cara mencintai dengan sangat sederhana. Cukup dengan menatap rumahnya diam-diam dan melengkungkan bibir saat tangan kita berjabat. Jabatan tangan yang hanya bisa kulakukan saat lebaran.
***
2003 – 1424 Hijriyah.
Dira berlari kecil menuju mushola kecil di dekat rumahnya. Sholat tarawih segera dimulai. Namun ia belum sampai di mushola bahkan mengenakan mukenanya. Rasa malas memang sudah menyerang Dira sejak seminggu yang lalu. Gadis kecil berusia 12 tahun itu baru saja masuk SMP dan baru saja menjalani bulan puasa tahun ini. Apalagi lebaran kurang seminggu seperti ini, Dira makin malas berangkat tarawih.
“dir, bawa buku ramadhan, kan?”
Yanti, salah satu temannya, muncul dari balik mukena yang sedang digunakan Dira. Dira mengangguk.
“nanti bareng ya?”
Dira kembali hanya mengangguk kemudian berdiri untuk mengikuti sholat tarawih yang sudah dimulai. Jika tidak karena buku itu, mungkin Dira memilih tidur saja dirumah. Buku Ramadhan berisi tugas ramadhan seperti mencatat ceramah dan mengumpulkan tanda tangan imam tarawih. Buku itu digunakan guru sekolah untuk meningkatkan semangat murid dalam menjalani ibadah puasa dan tarawih. Kenyataannya, murid sekecil Dira malah terpaksa menjalaninya.
Delapan rakaat tarawih dan tiga rakaat witir baru saja usai. Dira melipat mukenanya dan buru-buru ke ruangan imam untuk berebut tanda tangan imam tarawih dengan tetangga-tetangganya yang juga memiliki tugas sekolah yang sama. Saat memasuki ruangan imam, Dira melihat salah satu tetangganya yang lain malah bercanda di pojok ruangan. Diantara suara tawa anak-anak laki-laki itu, terlihat seseorang yang hanya tersenyum lebar namun tidak mengeluarkan suara sama seperti teman-temannya. Dira menebak, anak laki-laki itu pasti bahan tertawaan teman-temannya. Tapi Dira salah, bukan anak laki-laki itu yang menjadi bulan-bulanan. Namun temannya yang lain. Ternyata, anak laki-laki itu memang pendiam. Tawanya kecil sehingga hanya seperti tersenyum saja. Dira jadi tersenyum sendiri.
2004 – 1425 Hijriyah.
Lebaran kembali datang. Kali ini Dira sudah berusia 13 tahun, kelas dua SMP. Dira tersenyum saat mematut diri di kaca. Ada misi dalam lebaran kali ini. Anak laki-laki yang tersenyum lebar tahun lalu.
“Dir, udah siap?”
Mami menunggu di depan rumah, bersiap menuju masjid untuk mengikuti sholat ied di mushola. Mushola memang menjadi pusat kegiatan ibadah di lingkungan rumah Dira.
“Udah.”
Dira segera menutup rumah dan menuju ibunya yang sudah siap. Sholat ied dimulai setengah jam lagi. Biasanya sebelum sholat ied, ada pengumuman khusus dan maminya tidak ingin ketinggalan informasi.
Mushola dibagi menjadi dua tempat, bagian laki-laki dan perempuan. Bagian laki-laki di depan imam dan perempuan mengikuti dibelakangnya. Untuk menuju tempat perempuan, harus melewati tempat sholat laki-laki. Saat melewati tempat laki-laki, Dira memberanikan diri mengangkat kepala dan memperhatikan sekelilingnya. Ternyata anak laki-laki bersenyum lebar itu duduk di ujung barisan bersama teman-temannya. Senyumnya mengecil, namun kali ini matanya berbinar.
2005 – 1426 Hijriyah
Rencana lebaran Dira tidak pernah berubah sejak tahun lalu. Mencari anak laki-laki bersenyum lebar itu dan menikmati senyumnya lagi. Apalagi anak laki-laki itu sudah berpisah dengan Dira. Saat ini ia sudah SMA dan Dira masih kelas 3 SMP. Dahulu, saat mereka masih satu sekolah, Dira masih bisa menatap senyumnya diam-diam dari depan kelasnya. Namun rindu itu hanya bisa dikepul jadi satu setelah mereka berpisah.
Sepanjang menunggu sholat ied, kepala Dira tidak berhenti mengingat senyum manis anak laki-laki itu. Sesekali matanya mencari-cari lagi anak laki-laki yang tidak setinggi teman-temannya itu. Namun matanya tertunduk saat ibunya meliriknya. Malu. Dira sudah bukan gadis kecil lagi sekarang.
2006 – 1427 Hijriyah.
Dira sudah SMA sekarang. Ia sudah mengenal banyak teman selain sahabatnya, Yanti. Yanti pula yang mengenalkannya pada teman-temanya yang juga teman anak laki-laki itu. Namun Dira tidak pernah berkenalan dengan anak laki-laki itu. Ia hanya tahu sekarang anak laki-laki itu sudah berubah menjadi pria sebab sekarang ia sudah memiliki kekasih.
“Dir, besok ikut sholat ied?”
“Gak, Yan. Bulanan.”
Yanti mengangguk paham.
“Tapi besok datang, kan? Ada dia lho.”
Dira tersenyum. Rencananya selalu sama. Senyum lebar pria itu.
2007 – 1428 Hijriyah.
Kepulan rindu seakan sudah tidak cukup dalam hati Dira. Dira sudah besar sekarang. Ia sudah bisa memahami perasaannya. Ia tahu, ia jatuh cinta. Meskipun ia belum mengenal pria itu dengan baik. Tapi, rindu Dira pada pria itu pun masih sama. Meskipun sekarang kisahnya mulai berbeda.
“Dira.”
“Nisa.”
Perkenalan singkat di kantin sekolah menyadarkan Dira. Gadis cantik didepannya adaah kekasih pria itu. Dira tidak mampu menahan rasa irinya, namun ia tak menyangkal kesempurnaan gadis itu untuk pria beralis tebalnya.
2008 – 1429 Hijriyah.
Dira berusaha menahan perasaan irinya sejak tahun lalu. Seperti ujian saat bulan puasa, Dira hanya berharap ada ganjaran untuknya di akhir ujian. Sama seperti lebaran tahun lalu, ia hanya ingin senyum pria itu.
Dira menatap rumah pria itu dengan gamang. Ada keinginan memaksakan diri untuk berkenalan dengannya dan mencoba menjalin hubungan. Tapi Dira tidak pernah berani mengambil resiko apapun. Buatnya, menatap rumahnya diam-diam seperti ini tidak memiliki resiko namun cukup melegakan hatinya.
2009 – 1430 Hijriyah.
Belum tentu akan bertemu lagi(dengan pria itu tahun ini). Judul lebaran kali ini. Mata Dira sudah mencari sejak awal kedatangannya di mushola. Namun pria itu tidak ada. Seperti pilihan dalam lebaran, kita berbahagia atau bersedih karena habisnya bulan Ramadhan? Dira memilih berbahagia saja. Harapannya selalu sama dari tahun ke tahun, dia pasti masih ada tahun depan.
2010 – 1431 Hijriyah.
Barisan warga mulai melingkari mushola kecil. Mereka bersiap berjabat tangan, saling memaafkan antar warga setelah sholat ied. Warga memulai barisan dari bagian perempuan di ujung barat dan bergulir ke arah timur, menuju barisan laki-laki. Dira bersiap di barisannya. Tangannya mulai basah. Rindu menguasai sebagian kesiapannya bertemu dengan pria itu. Sempat terlintas wajah kekasih prianya, namun rindu kembali mengalahkannya. Barisan mulai bergerak, namun senyum pria itu masih belum ia temukan.
2011 – 1432 Hijriyah.
Tangan Dira sibuk menyalami tetangganya, saling memaafkan dan saling membuka diri untuk kehidupan yang baru. Dira tersenyum kecut, sedari tadi barisan sebelumnya tidak segera habis. Dira ingin segera bertemu dengan pria alis tebal yang selalu bersarung saat sholat. Ada sedikit ketakutan, apakah kali ini ia akan bertemu?
Tangan berkulit putih, berbulu lebat dan hangat segera menyergap Dira saat mata mereka beradu. Dengan canggung mereka saling tersenyum. Lalu saling menunduk satu sama lain, menutupi rasa yang disimpan melalui asa selama bertahun-tahun.
2012
Entah ‘perasaan’ itu memiliki kata dasar ‘rasa’ atau ‘asa’. Yang jelas, keduanya mampu menyimpan cerita.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar