Ceritanya kemaren pas kuliah
Stilistika, tugasnya bikin cerpen. Namanya mahasiswa sastra ya, pasti tugasnya
begonoan. Gak jauh-jauh dari bikin cerpen, analisis puisi sampai novel. Kebetulah
kemaren dosennya nyuruh bikin cerpen berdasarkan pengalaman pribadi. Nah,
masalahnya, yang bisa bikin semangat itu cuma MOOD. Berhubung MOODnya masih
seliweran cari pacar di alun-alun dan dia baru pulang maleeemmm banget. Ya wes,
lemburanlah kita berdua nyelesein tugas itu.
Sebenernya, kerjaan nulis-menulis
itu udah biasa banget aku lakuin. Tapiii, berhubung si MOOD itu suka temenan
sama BAD, SAD sampee kabur dari rumah, jadinya gak pernah nulis lagi. Terakhir bikin
pas hot-hot-nya grup facebook Kumpulan Cerpen Cerbung ArmADA. Grup ini isinya cerpen, puisi, cerbung(istilahku sih
CERBUT, cerita berbuntut. hhi) yang ditulis sama armADA, fansnya ADA Band *ecieehh*.
Waktu itu pas keluarnya album baru ADA Band, EMPATI *ntar deh aku review album
ini*, jadi semangat banget bikin cerpen based from lagu-lagu barunya ADA Band. Abis
gak ngeksis, ya saodah, nganggur lagi. Males itu merepotkan, pemirsa! J
Balik tentang cerpen ini.
sebenernya cerpen ini 30% fiktif. Tapi tema ceritanya itu 100% REAL! Hahahaha,
ini jadinya semacam curhatan. Tapiii, jadinya bener-bener kayak fiktif. Aku emang
ngerasain feelnya, suasana di dalem ceritanya. Tapi ya itu, kayak ‘gak kenal’. Hhi,
kata orang jawa sih, jiarjarno alias biarin. Yang penting tugas ngerjain sendiri.
#ayey!
Udeh ah, ceritanya kepanjangan. Yo wes,
cekidot pemirsa!
PRIA LEBARAN
Lebaran adalah pilihan. Kita akan
berbangga hati karena sudah berhasil melalui bulan Ramadhan yang penuh
perjuangan, atau kita akan bersedih hati karena belum tentu akan bertemu lagi
dengan bulan itu di tahun depan. Buatku lebaran tak lebih dari seorang pria
beralis tebal. Pria yang mampu membuatku tahu bahwa cinta tak harus memiliki.
Pria yang mengajarkanku cara mencintai dengan sangat sederhana. Cukup dengan
menatap rumahnya diam-diam dan melengkungkan bibir saat tangan kita berjabat.
Jabatan tangan yang hanya bisa kulakukan saat lebaran.
***
2003 – 1424 Hijriyah.
Dira berlari kecil menuju mushola
kecil di dekat rumahnya. Sholat tarawih segera dimulai. Namun ia belum sampai
di mushola bahkan mengenakan mukenanya. Rasa malas memang sudah menyerang Dira
sejak seminggu yang lalu. Gadis kecil berusia 12 tahun itu baru saja masuk SMP
dan baru saja menjalani bulan puasa tahun ini. Apalagi lebaran kurang seminggu
seperti ini, Dira makin malas berangkat tarawih.
“dir, bawa buku ramadhan, kan?”
Yanti, salah satu temannya,
muncul dari balik mukena yang sedang digunakan Dira. Dira mengangguk.
“nanti bareng ya?”
Dira kembali hanya mengangguk
kemudian berdiri untuk mengikuti sholat tarawih yang sudah dimulai. Jika tidak
karena buku itu, mungkin Dira memilih tidur saja dirumah. Buku Ramadhan berisi
tugas ramadhan seperti mencatat ceramah dan mengumpulkan tanda tangan imam
tarawih. Buku itu digunakan guru sekolah untuk meningkatkan semangat murid
dalam menjalani ibadah puasa dan tarawih. Kenyataannya, murid sekecil Dira
malah terpaksa menjalaninya.
Delapan rakaat tarawih dan tiga
rakaat witir baru saja usai. Dira melipat mukenanya dan buru-buru ke ruangan
imam untuk berebut tanda tangan imam tarawih dengan tetangga-tetangganya yang
juga memiliki tugas sekolah yang sama. Saat memasuki ruangan imam, Dira melihat
salah satu tetangganya yang lain malah bercanda di pojok ruangan. Diantara
suara tawa anak-anak laki-laki itu, terlihat seseorang yang hanya tersenyum
lebar namun tidak mengeluarkan suara sama seperti teman-temannya. Dira menebak,
anak laki-laki itu pasti bahan tertawaan teman-temannya. Tapi Dira salah, bukan
anak laki-laki itu yang menjadi bulan-bulanan. Namun temannya
yang lain. Ternyata, anak laki-laki itu memang
pendiam. Tawanya kecil sehingga hanya seperti tersenyum saja. Dira jadi tersenyum
sendiri.
2004 – 1425 Hijriyah.
Lebaran kembali
datang. Kali ini Dira sudah berusia 13 tahun, kelas dua SMP. Dira tersenyum
saat mematut diri di kaca. Ada misi dalam lebaran kali ini. Anak laki-laki yang
tersenyum lebar tahun lalu.
“Dir, udah
siap?”
Mami menunggu di
depan rumah, bersiap menuju masjid untuk mengikuti sholat ied di mushola.
Mushola memang menjadi pusat kegiatan ibadah di lingkungan rumah Dira.
“Udah.”
Dira segera
menutup rumah dan menuju ibunya yang sudah siap. Sholat ied dimulai setengah
jam lagi. Biasanya sebelum sholat ied, ada pengumuman khusus dan maminya tidak
ingin ketinggalan informasi.
Mushola dibagi
menjadi dua tempat, bagian laki-laki dan perempuan. Bagian laki-laki di depan imam
dan perempuan mengikuti dibelakangnya. Untuk menuju tempat perempuan, harus
melewati tempat sholat laki-laki. Saat melewati tempat laki-laki, Dira
memberanikan diri mengangkat kepala dan memperhatikan sekelilingnya. Ternyata
anak laki-laki bersenyum lebar itu duduk di ujung barisan bersama
teman-temannya. Senyumnya mengecil, namun kali ini matanya berbinar.
2005 – 1426 Hijriyah
Rencana lebaran
Dira tidak pernah berubah sejak tahun lalu. Mencari anak laki-laki bersenyum
lebar itu dan menikmati senyumnya lagi. Apalagi anak laki-laki itu sudah
berpisah dengan Dira. Saat ini ia sudah SMA dan Dira masih kelas 3 SMP. Dahulu,
saat mereka masih satu sekolah, Dira masih bisa menatap senyumnya diam-diam
dari depan kelasnya. Namun rindu itu hanya bisa dikepul jadi satu setelah
mereka berpisah.
Sepanjang
menunggu sholat ied, kepala Dira tidak berhenti mengingat senyum manis anak
laki-laki itu. Sesekali matanya mencari-cari lagi anak laki-laki yang tidak
setinggi teman-temannya itu. Namun matanya tertunduk saat ibunya meliriknya.
Malu. Dira sudah bukan gadis kecil lagi sekarang.
2006 – 1427 Hijriyah.
Dira sudah SMA
sekarang. Ia sudah mengenal banyak teman selain sahabatnya, Yanti. Yanti pula
yang mengenalkannya pada teman-temanya yang juga teman anak laki-laki itu.
Namun Dira tidak pernah berkenalan dengan anak laki-laki itu. Ia hanya tahu
sekarang anak laki-laki itu sudah berubah menjadi pria sebab sekarang ia sudah
memiliki kekasih.
“Dir, besok ikut
sholat ied?”
“Gak, Yan.
Bulanan.”
Yanti mengangguk
paham.
“Tapi besok datang,
kan? Ada dia lho.”
Dira tersenyum.
Rencananya selalu sama. Senyum lebar pria itu.
2007 – 1428 Hijriyah.
Kepulan rindu
seakan sudah tidak cukup dalam hati Dira. Dira sudah besar sekarang. Ia sudah
bisa memahami perasaannya. Ia tahu, ia jatuh cinta. Meskipun ia belum mengenal
pria itu dengan baik. Tapi, rindu Dira pada pria itu pun masih sama. Meskipun
sekarang kisahnya mulai berbeda.
“Dira.”
“Nisa.”
Perkenalan
singkat di kantin sekolah menyadarkan Dira. Gadis cantik didepannya adaah
kekasih pria itu. Dira tidak mampu menahan rasa irinya, namun ia tak menyangkal
kesempurnaan gadis itu untuk pria beralis tebalnya.
2008 – 1429 Hijriyah.
Dira berusaha
menahan perasaan irinya sejak tahun lalu. Seperti ujian saat bulan puasa, Dira
hanya berharap ada ganjaran untuknya di akhir ujian. Sama seperti lebaran tahun
lalu, ia hanya ingin senyum pria itu.
Dira menatap
rumah pria itu dengan gamang. Ada keinginan memaksakan diri untuk berkenalan
dengannya dan mencoba menjalin hubungan. Tapi Dira tidak pernah berani
mengambil resiko apapun. Buatnya, menatap rumahnya diam-diam seperti ini tidak
memiliki resiko namun cukup melegakan hatinya.
2009 – 1430 Hijriyah.
Belum tentu akan
bertemu lagi(dengan pria itu tahun ini). Judul lebaran kali ini. Mata Dira sudah
mencari sejak awal kedatangannya di mushola. Namun pria itu tidak ada. Seperti
pilihan dalam lebaran, kita berbahagia atau bersedih karena habisnya bulan
Ramadhan? Dira memilih berbahagia saja. Harapannya selalu sama dari tahun ke
tahun, dia pasti masih ada tahun depan.
2010 – 1431 Hijriyah.
Barisan warga
mulai melingkari mushola kecil. Mereka bersiap berjabat tangan, saling
memaafkan antar warga setelah sholat ied. Warga memulai barisan dari bagian
perempuan di ujung barat dan bergulir ke arah timur, menuju barisan laki-laki. Dira
bersiap di barisannya. Tangannya mulai basah. Rindu menguasai sebagian
kesiapannya bertemu dengan pria itu. Sempat terlintas wajah kekasih prianya,
namun rindu kembali mengalahkannya. Barisan mulai bergerak, namun senyum pria
itu masih belum ia temukan.
2011 – 1432 Hijriyah.
Tangan Dira
sibuk menyalami tetangganya, saling memaafkan dan saling membuka diri untuk
kehidupan yang baru. Dira tersenyum kecut, sedari tadi barisan sebelumnya tidak
segera habis. Dira ingin segera bertemu dengan pria alis tebal yang selalu
bersarung saat sholat. Ada sedikit ketakutan, apakah kali ini ia akan bertemu?
Tangan berkulit
putih, berbulu lebat dan hangat segera menyergap Dira saat mata mereka beradu.
Dengan canggung mereka saling tersenyum. Lalu saling menunduk satu sama lain,
menutupi rasa yang disimpan melalui asa selama bertahun-tahun.
2012
Entah ‘perasaan’
itu memiliki kata dasar ‘rasa’ atau ‘asa’. Yang jelas, keduanya mampu menyimpan
cerita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar