Rabu, 13 Juni 2012

motivasi #1

Beberapa waktu yang lalu, sempat dicurhatin temen tentang kerjaan dan lingkungannya yang keras. Maklum, anak daerah di kota besar... Aku sendiri sebagai anak daerah di daerah, ya gak bisa ngerasain secara langsung gimana kerasnya. Ya akhirnya cuma bisa nyemangatin aja. Nah, pas iseng ngutek-ngutek timeline @Metro_TV, nemuin materi yang #SYIIPP tentang kerjaan. Yang nulis Komarudin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau yang pernah nulis buku Psikologi Kematian, buku yang bagus banget dan cukup menggelegar. Beliau rajin nulis di Metro KOLOM, semacam “kolom” di laman internetnya Metro TV News yang isinya gagasan-gagasan dan analisis-analisis. Salah satu tulisannya yang #SYIIPP kataku tadi itu judulnya “Work is Where You Play”. Materi ini rasanya PAS banget sama temen-temen yang sedang meragukan kerjaannya, gak tau harus gimana sama kerjaannya atau gak bisa kerja maksimal. Materi ini bisa jadi motivasi yang amat sangat bagus buat yang ‘gak cinta’ sama kerjaannya sekarang. Meskipun buat saya sekarang ini cuma jadi motivasi masa depan saja karena masa sekarang adalah ‘tempat bermain’ saya *karena saya mencintai dunia saya yang sekarang*, namun materi ini pasti cocok buat kalian semua. Semoga menikmati..


Metro Kolom | Selasa, 24 April 2012 23:16 WIB
Judul di atas saya temukan pada sebuah gedung perkantoran baru di jalan Sudirman, Jakarta. Work is Where You Play. Terjemahan bebasnya, bekerja dan bermain itu mestinya menyatu, di sinilah tempatnya. Tetapi saya ragu, mungkin yang ditawarkan oleh iklan ini sekadar promosi gedung yang dianggap mengasyikkan, bukannya kualitas dan jenis pekerjaan sebagaimana pesan judul di atas.

Ciri bermain adalah adanya antusiasme untuk meraih prestasi dengan insentif kepuasan emosional, bukannya material. Orang yang asyik bermain akan lupa waktu. Perhatikan saja para pemain bola kaki, tenis atau golf, rasanya waktu masih kurang begitu permainan dinyatakan berakhir. Terlebih pada golf, selalu saja ada nafsu untuk memperbaiki kekurangan dan kesalahan yang telah diperbuat agar tidak terulang pada hole  berikutnya atau permainan di hari lain. Andaikan suasana kerja seantusias bermain, pasti perusahaan dan negara tak akan bangkrut.

Tentu saja bermain hanyalah selingan dalam hidup. Hidup mesti diisi dengan kerja produktif. Salah satu yang membuat semangat dalam bekerja adalah insentif gaji. Tetapi hubungan semangat kerja dan gaji tidak selalu memiliki korelasi positif, terutama di kalangan pegawai negeri sipil tingkat bawah. Makanya populer istilah PGPS, pinter-goblok penghasilan sama. Yakin bahwa jumlah gaji tak bertambah sekalipun kerjanya meningkat, maka gaji bulanan lama-lama kehilangan daya dorongnya agar seseorang bekerja lebih kreatif dan produktif.

Yang menyedihkan adalah mereka yang memiliki jabatan lalu menciptakan dan mengejar insentif diluar gaji, yang sejak awal kebijakan itu diatur sedemikian rupa sehingga yang terjadi tak lebih sebagai praktik korupsi terselubung. Bekerja dengan cara demikian, ibarat permainan, mereka bermain kotor, curang, dan kalaupun menang kepuasannya semu. Sebuah kemenangan bohong-bohongan.

You are What You Do


Harga diri seseorang akan terbentuk dan terukur oleh hasil karyanya. Bekerja adalah dorongan, tuntutan dan kebutuhan manusia sebagaimana makan, bernafas ataupun tidur. Kerja adalah kebutuhan eksistensial. Bayangkan, andaikan dalam seminggu hari kerja hanya dua hari, lalu selebihnya menganggur, pasti tidak akan bahagia. Menganggur, tidak ada aktivitas dan penghasilan, akan menggerogoti harga diri dan kebahagiaan. Kebahagiaan hidup diraih dengan kerja produktif yang bermakna bagi orang lain.

Yang paling ideal adalah jika seseorang bisa menyatukan antara hobi dan bekerja yang sekaligus mendatangkan insentif uang dan penghargaan masyarakat. Kerja semacam itu pasti menggairahkan sebagaimana kita bermain atas dasar hobi, namun mendatangkan uang dan menggembirakan orang lain. Dalam konteks ini para pekerja seni mendekati kriteria dimaksud. Bercampur antara bermain, bekerja dan menghibur orang lain. Oleh karenanya, pemain piano yang lagi manggung dan bermain secara total, misalnya, ketika sudah hanyut dalam permainan, bisa lupa apakah permainan itu ditonton orang ataukah tidak, dia tidak peduli.

Begitu juga halnya atlet sejati. Tidak lagi ada batas antara bekerja dan bermain serta aktualisasi diri. Bintang sepakbola dunia begitu turun ke lapangan bagaikan penari naik panggung, atau perenang masuk kolam, mereka lebur secara total ke dalamnya, tak lagi memikirkan insentif uang. Makanya ada nasehat, kalau Anda lagi bertanding tenis, misalnya, fokuslah dan leburlah dalam permainan, jangan sering-sering matanya melihat papan nilai, karena permainan akan rusak. Orang yang fokus pada insentif akan menomorduakan pekerjaan. Tetapi jika seorang profesional berkarya secara optimal, insentif akan mengejar dan melayani dirinya.

Merubah Makna Kerja   

Orang yang bekerja tanpa skill dan hati, maka ruang kerja akan berubah menjadi ruang tahanan, sehingga judul di atas berubah menjadi: Work is Where You are Becoming a Prisoner. Bekerja tanpa skill, spirit pengabdian dan cinta pada profesinya akan terasa sangat melelahkan, dan bahkan menyiksa. Begitu di ruang kerja Anda tiba-tiba secara psikologis masuk ruang tahanan. Padahal rumus yang ideal: 9 to 5 is a happy hour. Situasi inilah yang mungkin dinikmati oleh para pekerja seni dan atlet profesional.

Mestinya jenis pekerjaan apapun bisa diubah atau diciptakan sebagai aktualisasi diri yang mengasyikkan, sehingga seseorang bekerja melebihi jatah waktu dan target. Hidup, berkarya dan bermain dikondisikan agar menjadi satu paket three in one. Bukankah hidup itu sendiri sebuah anugerah Tuhan yang harus dirayakan dengan kerja kreatif, produktif dan konstruktif?

Dengan semakin majunya teknologi modern, sekarang ini sangat memungkinkan menciptakan suasana kerja lebih nyaman dan menyenangkan, tanpa mengurangi produktivitas. Lebih dari sekadar tempat bekerja, suasana kantor mestinya juga dirubah agar merupakan suatu komunitas ekslusif dengan aura kekerabatan dan pertemanan yang semuanya tetap memiliki komitmen menjaga etika profesionalisme.

Orang yang bekerja namun tidak memiliki kebanggaan dan kepuasaan atas hasilnya disebut “alienated person”, yaitu pribadi yang tercerabut dan tersingkir dari apa yang ia lakukan. Lebih parah lagi kalau seseorang benci pada pekerjaannya, lalu berkembang pada lingkungan sosialnya, maka akan mengalami kepribadian yang pecah dan lebih jauh lagi bisa disebut sakit mental. Jika tidak bekerja takut akan bayang-bayang pengangguran dan jika tidak bekerja tidak akan memiliki penghasilan tetap, sementara kalau masuk kerja juga merasa tersiksa. Inilah yang dimaksud teralienasi, dimana seseorang tidak lagi menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Dengan bekerja maka manusia menjadi dirinya dan menjaga martabatnya. Coba renungkan. Tuhan memberikan semua fasilitas yang terhampar dan tersimpan di bumi. Lalu manusia dianugerahi organ tubuh yang sangat canggih serta pikiran yang sangat hebat. Untuk apa semua itu jika tidak untuk berkarya memakmurkan bumi dan berbagi kasih sayang serta kebajikan dengan sesamanya? Demikianlah yang selalu diulang-ulang oleh Al-Qur’an bahwa anjuran beriman mesti selalu dikaitkan dengan perintah amal saleh. Yaitu perbuatan yang benar, baik dan berguna. Ajaran ini akan dijumpai pada semua agama. Ciri orang yang beriman adalah mereka yang selalu berkarya di jalan yang benar dan baik, untuk tujuan kebenaran dan kebaikan.

Tetapi bekerja sekadar benar dan baik belumlah cukup. Mesti ditambah nilai keindahan. Banyak pekerjaan yang benar dan baik, tetapi belum tentu indah. Tanpa keindahan kehidupan akan terasa kering. Tanpa kerja produktif seseorang juga akan kehilangan harga dirinya. Jangan bayangkan seseorang akan merasa bahagia dengan mengandalkan warisan orangtua tanpa yang bersangkutan memiliki ketrampilan kerja.

Berulangkali saya ketemu pemuda yang merasa dirinya kaya, secara ekonomi berlimpah, namun hidupnya tidak bahagia karena tidak memiliki ketrampilan dan kepandaian yang dibanggakan. Dia hidup bersama keluarganya dengan harta warisan orangtuanya yang telah meninggal. Di hatinya merasa iri dan malu terhadap teman sebayanya yang bisa bekerja secara profesional dan hasil karyanya mendapat penghargaan dari masyarakat. Jadi, kerja, harga diri dan kebahagiaan saling terkait, isi mengisi.

Menjadi persoalan ketika bekerja secara  terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Yang demikian ini dialami oleh banyak penduduk Indonesia. Langkah pertama adalah mengembangkan ketrampilan dan mencari pekerjaan yang cocok dan disenangi, entah di lingkungan lama ataupun yang baru. Kedua, jika kondisi eksternal tidak bisa diubah, maka seseorang harus merubah kondisi internalnya. Yaitu belajar mencintai pekerjaan yang tersedia.

Namun di atas itu semua, seseorang akan merasa bermakna hidup dan aktivitasnya kalau memiliki niat dan pandangan hidup yang mulia bahwa hidup adalah festival yang harus dirayakan dan juga hidup adalah anugerah yang mesti disyukuri serta dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Kalau kita bekerja semata mengharapkan insentif material-duniawi, maka bersiaplah untuk kecewa. Kebaikan orang biasanya bersyarat dan terbatas. Orang cenderung memikirkan dirinya sendiri dan enggan berkurban serta memberi berlebih pada orang lain kecuali ada kalkulasi untung rugi. Kecuali mereka yang benar-benar menghayati bahwa kemuliaan dan kebahagiaan itu justru terletak dalam mencintai dan memberi, bukannya meminta dan mengambil, sebagai rasaya syukur pada Sang pemberi hidup.

Jadi, berbahagialah mereka yang berhasil mempertemukan: bekerja, bermain, beramal saleh, bermasyarakat dan mensyukuri hidup. I work, therefore I am; bukannya, I have therefore I am.  "Eksistensiku ditandai dengan karyaku, bukan karena hartaku".

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Selasa, 12 Juni 2012

cerpen #1


Ceritanya kemaren pas kuliah Stilistika, tugasnya bikin cerpen. Namanya mahasiswa sastra ya, pasti tugasnya begonoan. Gak jauh-jauh dari bikin cerpen, analisis puisi sampai novel. Kebetulah kemaren dosennya nyuruh bikin cerpen berdasarkan pengalaman pribadi. Nah, masalahnya, yang bisa bikin semangat itu cuma MOOD. Berhubung MOODnya masih seliweran cari pacar di alun-alun dan dia baru pulang maleeemmm banget. Ya wes, lemburanlah kita berdua nyelesein tugas itu.
Sebenernya, kerjaan nulis-menulis itu udah biasa banget aku lakuin. Tapiii, berhubung si MOOD itu suka temenan sama BAD, SAD sampee kabur dari rumah, jadinya gak pernah nulis lagi. Terakhir bikin pas hot-hot-nya grup facebook Kumpulan Cerpen Cerbung ArmADA. Grup ini isinya cerpen, puisi, cerbung(istilahku sih CERBUT, cerita berbuntut. hhi) yang ditulis sama armADA, fansnya ADA Band *ecieehh*. Waktu itu pas keluarnya album baru ADA Band, EMPATI *ntar deh aku review album ini*, jadi semangat banget bikin cerpen based from lagu-lagu barunya ADA Band. Abis gak ngeksis, ya saodah, nganggur lagi. Males itu merepotkan, pemirsa! J
Balik tentang cerpen ini. sebenernya cerpen ini 30% fiktif. Tapi tema ceritanya itu 100% REAL! Hahahaha, ini jadinya semacam curhatan. Tapiii, jadinya bener-bener kayak fiktif. Aku emang ngerasain feelnya, suasana di dalem ceritanya. Tapi ya itu, kayak ‘gak kenal’. Hhi, kata orang jawa sih, jiarjarno alias biarin. Yang penting tugas ngerjain sendiri. #ayey!
Udeh ah, ceritanya kepanjangan. Yo wes, cekidot pemirsa!


PRIA LEBARAN

Lebaran adalah pilihan. Kita akan berbangga hati karena sudah berhasil melalui bulan Ramadhan yang penuh perjuangan, atau kita akan bersedih hati karena belum tentu akan bertemu lagi dengan bulan itu di tahun depan. Buatku lebaran tak lebih dari seorang pria beralis tebal. Pria yang mampu membuatku tahu bahwa cinta tak harus memiliki. Pria yang mengajarkanku cara mencintai dengan sangat sederhana. Cukup dengan menatap rumahnya diam-diam dan melengkungkan bibir saat tangan kita berjabat. Jabatan tangan yang hanya bisa kulakukan saat lebaran.
***
2003 – 1424 Hijriyah.
Dira berlari kecil menuju mushola kecil di dekat rumahnya. Sholat tarawih segera dimulai. Namun ia belum sampai di mushola bahkan mengenakan mukenanya. Rasa malas memang sudah menyerang Dira sejak seminggu yang lalu. Gadis kecil berusia 12 tahun itu baru saja masuk SMP dan baru saja menjalani bulan puasa tahun ini. Apalagi lebaran kurang seminggu seperti ini, Dira makin malas berangkat tarawih.
“dir, bawa buku ramadhan, kan?”
Yanti, salah satu temannya, muncul dari balik mukena yang sedang digunakan Dira. Dira mengangguk.
“nanti bareng ya?”
Dira kembali hanya mengangguk kemudian berdiri untuk mengikuti sholat tarawih yang sudah dimulai. Jika tidak karena buku itu, mungkin Dira memilih tidur saja dirumah. Buku Ramadhan berisi tugas ramadhan seperti mencatat ceramah dan mengumpulkan tanda tangan imam tarawih. Buku itu digunakan guru sekolah untuk meningkatkan semangat murid dalam menjalani ibadah puasa dan tarawih. Kenyataannya, murid sekecil Dira malah terpaksa menjalaninya.
Delapan rakaat tarawih dan tiga rakaat witir baru saja usai. Dira melipat mukenanya dan buru-buru ke ruangan imam untuk berebut tanda tangan imam tarawih dengan tetangga-tetangganya yang juga memiliki tugas sekolah yang sama. Saat memasuki ruangan imam, Dira melihat salah satu tetangganya yang lain malah bercanda di pojok ruangan. Diantara suara tawa anak-anak laki-laki itu, terlihat seseorang yang hanya tersenyum lebar namun tidak mengeluarkan suara sama seperti teman-temannya. Dira menebak, anak laki-laki itu pasti bahan tertawaan teman-temannya. Tapi Dira salah, bukan anak laki-laki itu yang menjadi bulan-bulanan. Namun temannya yang lain. Ternyata, anak laki-laki itu memang pendiam. Tawanya kecil sehingga hanya seperti tersenyum saja. Dira jadi tersenyum sendiri.
2004 – 1425 Hijriyah.
Lebaran kembali datang. Kali ini Dira sudah berusia 13 tahun, kelas dua SMP. Dira tersenyum saat mematut diri di kaca. Ada misi dalam lebaran kali ini. Anak laki-laki yang tersenyum lebar tahun lalu.
“Dir, udah siap?”
Mami menunggu di depan rumah, bersiap menuju masjid untuk mengikuti sholat ied di mushola. Mushola memang menjadi pusat kegiatan ibadah di lingkungan rumah Dira.
“Udah.”
Dira segera menutup rumah dan menuju ibunya yang sudah siap. Sholat ied dimulai setengah jam lagi. Biasanya sebelum sholat ied, ada pengumuman khusus dan maminya tidak ingin ketinggalan informasi.
Mushola dibagi menjadi dua tempat, bagian laki-laki dan perempuan. Bagian laki-laki di depan imam dan perempuan mengikuti dibelakangnya. Untuk menuju tempat perempuan, harus melewati tempat sholat laki-laki. Saat melewati tempat laki-laki, Dira memberanikan diri mengangkat kepala dan memperhatikan sekelilingnya. Ternyata anak laki-laki bersenyum lebar itu duduk di ujung barisan bersama teman-temannya. Senyumnya mengecil, namun kali ini matanya berbinar.
2005 – 1426 Hijriyah
Rencana lebaran Dira tidak pernah berubah sejak tahun lalu. Mencari anak laki-laki bersenyum lebar itu dan menikmati senyumnya lagi. Apalagi anak laki-laki itu sudah berpisah dengan Dira. Saat ini ia sudah SMA dan Dira masih kelas 3 SMP. Dahulu, saat mereka masih satu sekolah, Dira masih bisa menatap senyumnya diam-diam dari depan kelasnya. Namun rindu itu hanya bisa dikepul jadi satu setelah mereka berpisah.
Sepanjang menunggu sholat ied, kepala Dira tidak berhenti mengingat senyum manis anak laki-laki itu. Sesekali matanya mencari-cari lagi anak laki-laki yang tidak setinggi teman-temannya itu. Namun matanya tertunduk saat ibunya meliriknya. Malu. Dira sudah bukan gadis kecil lagi sekarang.
2006 – 1427 Hijriyah.
Dira sudah SMA sekarang. Ia sudah mengenal banyak teman selain sahabatnya, Yanti. Yanti pula yang mengenalkannya pada teman-temanya yang juga teman anak laki-laki itu. Namun Dira tidak pernah berkenalan dengan anak laki-laki itu. Ia hanya tahu sekarang anak laki-laki itu sudah berubah menjadi pria sebab sekarang ia sudah memiliki kekasih.
“Dir, besok ikut sholat ied?”
“Gak, Yan. Bulanan.”
Yanti mengangguk paham.
“Tapi besok datang, kan? Ada dia lho.”
Dira tersenyum. Rencananya selalu sama. Senyum lebar pria itu.
2007 – 1428 Hijriyah.
Kepulan rindu seakan sudah tidak cukup dalam hati Dira. Dira sudah besar sekarang. Ia sudah bisa memahami perasaannya. Ia tahu, ia jatuh cinta. Meskipun ia belum mengenal pria itu dengan baik. Tapi, rindu Dira pada pria itu pun masih sama. Meskipun sekarang kisahnya mulai berbeda.
“Dira.”
“Nisa.”
Perkenalan singkat di kantin sekolah menyadarkan Dira. Gadis cantik didepannya adaah kekasih pria itu. Dira tidak mampu menahan rasa irinya, namun ia tak menyangkal kesempurnaan gadis itu untuk pria beralis tebalnya.
2008 – 1429 Hijriyah.
Dira berusaha menahan perasaan irinya sejak tahun lalu. Seperti ujian saat bulan puasa, Dira hanya berharap ada ganjaran untuknya di akhir ujian. Sama seperti lebaran tahun lalu, ia hanya ingin senyum pria itu.
Dira menatap rumah pria itu dengan gamang. Ada keinginan memaksakan diri untuk berkenalan dengannya dan mencoba menjalin hubungan. Tapi Dira tidak pernah berani mengambil resiko apapun. Buatnya, menatap rumahnya diam-diam seperti ini tidak memiliki resiko namun cukup melegakan hatinya.
2009 – 1430 Hijriyah.
Belum tentu akan bertemu lagi(dengan pria itu tahun ini). Judul lebaran kali ini. Mata Dira sudah mencari sejak awal kedatangannya di mushola. Namun pria itu tidak ada. Seperti pilihan dalam lebaran, kita berbahagia atau bersedih karena habisnya bulan Ramadhan? Dira memilih berbahagia saja. Harapannya selalu sama dari tahun ke tahun, dia pasti masih ada tahun depan.
2010 – 1431 Hijriyah.
Barisan warga mulai melingkari mushola kecil. Mereka bersiap berjabat tangan, saling memaafkan antar warga setelah sholat ied. Warga memulai barisan dari bagian perempuan di ujung barat dan bergulir ke arah timur, menuju barisan laki-laki. Dira bersiap di barisannya. Tangannya mulai basah. Rindu menguasai sebagian kesiapannya bertemu dengan pria itu. Sempat terlintas wajah kekasih prianya, namun rindu kembali mengalahkannya. Barisan mulai bergerak, namun senyum pria itu masih belum ia temukan.
2011 – 1432 Hijriyah.
Tangan Dira sibuk menyalami tetangganya, saling memaafkan dan saling membuka diri untuk kehidupan yang baru. Dira tersenyum kecut, sedari tadi barisan sebelumnya tidak segera habis. Dira ingin segera bertemu dengan pria alis tebal yang selalu bersarung saat sholat. Ada sedikit ketakutan, apakah kali ini ia akan bertemu?
Tangan berkulit putih, berbulu lebat dan hangat segera menyergap Dira saat mata mereka beradu. Dengan canggung mereka saling tersenyum. Lalu saling menunduk satu sama lain, menutupi rasa yang disimpan melalui asa selama bertahun-tahun.
2012
Entah ‘perasaan’ itu memiliki kata dasar ‘rasa’ atau ‘asa’. Yang jelas, keduanya mampu menyimpan cerita.
***